salah satu presiden paling jenius di dunia


Habibie


Sosok inspiratif yang akan dibahas kali ini adalah mantan presiden Indonesia yang menjabat selama kurang lebih 1.4 tahun, dan pernah pula menjadi wakil presiden ke-7 Indonesia. Siapakah dia??? Yah, dia adalah Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang akrab disapa B.J Habibie. Seorang inspirator sejati yang kini menetap di Jerman dan bekerja disana. Ia patut dijadikan kiblat motivasi bagi kita semua. Buat kalian yang sedang putus asa, ada baiknya anda meluangkan waktu sejenak untuk sekedar membaca kisah sukses Habibie yang diraihnya dengan penuh perjuangan. Ingat!!! Kesuksesan itu tidak datang begitu saja. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk menggapainya



Berikut kisahnya...



Ketika beliau pergi haji akhir tahun 1982, mendapatkan pujian, “Habibie, dunia ini tidak tuli dan buta. Bahwa, didunia ini terdapat ilmuwan muslim yang mengangkat nama Islam dimata dunia dengan prestasi dan progresifitas.”


-Pengeran Sultan Abdul Aziz (Saudi Arabia)-



B. J Habibie terlahir sebagai anak ke-4 dari 8 bersaudara. Lahir di Pare-pare, provinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936, ia adalah putra dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil, ia hidup dalam suasana spiritual dan inteligen yang kuat. Belajar, sholat,  mengaji, dan membantu orang tua merupakan kegiatan sehari-harinya yang tidak pernah ia tinggalkan. Zaman sekolahnya dulu, ia terkenal sebagai murid yang jenius, ramah, dan sopan. Tak heran, aura kesuksesan tergambar pada sosoknya.



Dikisahkan oleh seorang guru Belanda di SMAK Dago pada awal awal tahun 1950-an bahwa Habibie adalah seorang murid yang cerdas. Ia mampu menyelesaikan soal fisika yang rata-rata dikerjakan selama 1 jam oleh teman-temannya hanya dalam tempo 20 menit saja. Mengerjakan soal lebih cepat 40 menit untuk pelajaran fisika pasti merupakan  sebuah kebanggaan yang besar. Bukan begitu???



Setelah lulus dari SMAK Dago, ia melanjutkan studinya ke ITB Bandung dan mendalami bidang Teknik Mesin. Tidak lama kemudian, ibunya yang pada waktu itu harus berjuang sendiri tanpa didampingi figur suami memutuskan untuk mengirim anaknya (Habibie) untuk belajar di RWTH Aachen, Jerman Barat pada tahun 1955. Ayah Habibie sendiri meninggal dunia pada saat Habibie berusia 13 tahun. Sungguh merupakan cobaan yang berat baginya. Namun, berduka hanyalah sebuah wujud penghormatan. Menatap masa depan merupakan hal yang harus dan wajib dilakukannya, berjuang melewati hari-hari tanpa figur ayah dan meraih kesuksesan.



Sesampainya di Jerman Barat, petugas imigrasi bertanya tentang bidang yang akan ia tekuni selama disana. Habibie pada waktu itu memilih untuk mendalami fisika. Petugas imigrasi tersebut menambahkan bahwa di Jerman, bidang aeromodeling sedang dikembangkan kearah yang lebih canggih dan memiliki prospek yang besar. Petugas tersebut kemudian menyarankan kepada Habibie untuk memutuskan akan memilih fisika atau aeromodeling. Disinilah awal pintu kesuksesan terbuka baginya.



Pilihannya kemudian berubah dan jatuh pada bidang aeromodeling (konstruksi pesawat terbang). Selama kuliah, Ia benar-benar kesulitan untuk melewati hari-harinya. Ia harus menggunakan bahasa Jerman disetiap tempat Ia berada. Bahkan terkadang, Habibie merasakan kelaparan ditengah musim dingin yang melanda dan dengan terpaksa Ia harus puas hanya dengan melahap sebuah apel karena minimnya uang saku kiriman dari ibunya. Ia juga terbebani dengan keharusan untuk melulusi mata kuliah yang diambilnya. Habibie muda terus memotivasi dirinya sendiri untuk terus bersabar dan tidak iri dengan rekan-rekan seperjuangannya yang mendapatkan beasiswa. Tahun 1955-1960 sungguh merupakan masa-masa sulit dalam hidupnya.




Habibie kemudian mendapatkan gelar Diploma Ingineur pada tahun 1960 dengan nilai 9.5 skala 10. 5 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1965, Ia memperoleh gelar doktor Ingineur pada bidang konstruksi pesawat terbang dengan nilai 10 (summa cum laude). Thesis doktornya sendiri berkenaan dengan hypersonic match 4 keatas (Match 4: 4 kali kecepatan suara, sekitar 5000km/jam). Namun karena topik tersebut kemudian diambil alih oleh profesor pembimbingnya, Ia kemudian meneliti tentang konstruksi kapal selam yang notabene secara struktural hampir sama dengan pesawat terbang.